Malam itu cuaca di luar sangat dingin. Suhu di bulan November memang benar-benar tidak bersahabat. Suara pembawa acara di radio menyebut angka 3 derajat Celcius, lebih daripada cukup untuk memberi sensasi rasa beku di tulang. Sesampainya di dalam bar, kondisi terasa jauh berbeda. Di dalam hangat dan nyaman. Senda gurau dan tawa pengunjung memenuhi ruangan. Terdengar pula nyaringnya dentingan gelas beradu dimana-mana. Jam dinding tepat menunjuk angka delapan ketika tiba-tiba terdengar suara ledakan dahsyat, bbllllaaarrrr. Seketika ruangan menjadi sunyi, gelap, panas, dan dipenuhi pengap asap. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Beberapa terlempar keluar melintasi dinding bar yang runtuh sebagian. Ledakan itu mengawali perjalanan panjang 30 tahun konflik IRA di Irlandia dan Inggris. Lebih dari 3000 korban tewas dan puluhan ribu lainnya terluka akibat serangan bom dan senjata api — Belfast,1971.
Tujuh tahun berselang berjarak ribuan kilometer jauhnya melintasi Samudera Atlantik, Jim Jones seorang “Pendeta” yang memimpin sebuah sekte Kuil Rakyat menyampaikan ceramah terakhirnya di hadapan 900-an orang jemaat yang sebagian besar berkewarganegaraan Amerika Serikat. Di akhir ceramah ia mengucapkan, “Waktunya telah tiba..”. Lalu dibagikannya minuman mengandung Sianida kepada seluruh jemaat di ruangan itu. Mereka bersama-sama melakukan bunuh diri massal. Mereka yang menolak diancam tetapi sebagian besar diduga kuat melakukannya secara sukarela. Tak perlu memakan waktu lama sampai tubuh-tubuh bergelimpangan di sana-sini. Tercatat ada lebih dari 200 anak-anak termasuk di dalam deretan korban — Jonestown Massacre,1978.
Dua kejadian tersebut pastinya tidak terjadi di tengah orang-orang yang kurang pendidikan atau terjerat kemiskinan. Terorisme dan ide absurd lainnya tidak bisa dianggap sebagai penyakit menular yang menjangkiti orang “sakit”, justru dapat menjangkiti orang-orang berpendidikan tinggi yang hidup di negara maju dan berkecukupan. Bagaimana bisa pemikiran dan perilaku ekstrem yang di luar nalar kemanusiaan dilakukan oleh orang-orang tersebut? Kata-kata dari filsuf eksistensialis terkemuka Nietzsche, mungkin dapat menjelaskan fenomena ini. “Mereka yang menari terlihat sinting oleh mereka yang tak mampu mendengar suara musiknya”. Artinya, mereka merasa “melihat” apa yang tak dapat kita lihat, mereka merasa “mendengar” apa yang tak dapat kita dengar.
It’s not about poverty nor religion nor lack of education. It’s about a contagious idea.
Bagaimana sebuah ide dapat menembus dan menggerakkan seseorang secara masif dan ekstrem. Adolf Hitler bukan siapa-siapa di masa perang dunia pertama. Ia hanya seorang tentara berpangkat Kopral yang bertugas sebagai kurir jauh di belakang garis peperangan. Bagaimana bisa ia menjadi seorang “Der Fuhrer” (Sang Pemimpin/ Sang “Guide”) yang menginisiasi terbunuhnya lebih dari 50 juta orang? Gagasan! Ia membungkus gagasan sedemikian rupa sehingga memunculkan ilusi solusi yang mengangkat harga diri bangsa yang runtuh dan dipermalukan akibat kekalahan dalam perang dunia pertama. Apakah gagasan Hitler melakukan genosida dan membunuhi musuh-musuh politiknya masuk akal? Untuk sebagian besar orang mungkin tidak tetapi ide tersebut berkesesuaian dan konsisten dengan kondisi mental sebagian rakyatnya di masa itu. Leon Festinger, pencetus teori “Cognitive Dissonance”, menyebut kondisi seperti ini dengan Konsonansi Kognitif. Sebuah ide, sikap, perilaku dan tindakan yang sesuai dengan keyakinan (belief) akan cenderung diterima dan dilakukan agar tercipta rasa nyaman. Jika tidak sesuai maka akan menimbulkan keresahan dan ditolak.
Segera setelah terjadinya bom bunuh diri tempo hari, ada pesan masuk ke ponsel saya. Seorang klien penasaran dan bertanya, “Apakah proses cuci otak benar-benar terjadi, Pak? Jika ya, bagaimana caranya? Lalu bagaimana mengetahui ciri-ciri orang yang sudah dicuciotaknya?” (Bersambung)
Oleh:
Sydney Panjiagung
Covert Hypnosis Expert
Leave a Reply