Tidak ada istilah new normal. Untuk menjadi normal yang baru, sesuatu itu harus menjadi “normal’ kembali. Ini jelas belum normal, kan? Dalam konteks pandeminya mungkin iya tapi tidak dalam dampaknya. Ini krisis, ini baru pemanasan.
Seorang klien, petinggi di sebuah jaringan perhotelan, berkisah pilu tentang bagaimana okupansi kamar hanya doremi-doremi saja dari normalnya ratusan. Seorang klien dengan jaringan ritel tersebar di seluruh nusantara mengeluhkan performa para reseller yang ngga bisa jualan. Kebanyakan CLBK katanya. Chat Lama Beli Kagak. Seorang teman, pemilik perusahaan dengan 10 ribu karyawan, berkisah tentang bagaimana dengan sangat terpaksa melakukan PHK hampir setengah jumlah karyawannya.
Belum lama ini saya memperoleh setumpuk data permintaan pasar berbagai kebutuhan jasa. Hampir 90 persennya nyungsep kecuali beberapa saja seperti permintaan jasa pengurusan pailit. Weeew..
Jika memang ini krisis dan kita sudah meyakininya, kuncinya adalah momentum. Menyikapinya dan menunggangi momen krisis untuk melakukan sesuatu yang selama ini kita tunda-tunda atau abaikan.
Momentum untuk berubah.
Momentum untuk pindah profesi.
Momentum untuk bangkit.
Momentum untuk memulai bisnis.
Momentum untuk memeras otak, untuk lebih sehat, untuk lebih berdaya, untuk mengubah mindset, atau untuk apapun itu.
Di balik setiap masalah pastilah ada peluang, apalagi kalau sudah terdesak. Seperti kata pepatah, “Kalau dirimu terjerembab ke dasar sumur, tak ada cara lain yang bisa dilakukan selain memanjat naik”.
Ada harga yang harus dibayar, ada peluh yang harus mengalir. Cara paling mudah melewati ini semua memang berdiam diri, merenungi nasib, dan berharap keajaiban mengetuk pintu rumah saat kita menyaksikan serunya acara-acara di netflix. Itulah makna sesungguhnya kata yang sering kita dengar, “killing time”. Sayangnya, seiring terbunuhnya waktu terbunuh pulalah diri kita.
Seorang teman bertanya,
“Kalau bisnis makanan, gimana peluangnya?”.
Saya jawab, “Jelek!”
“Lho kok jelek sih?”
“Kan makanan kebutuhan dasar dan tetap dibutuhkan orang?”.
Mungkin ada 100 juta orang di Indonesia ini yang berpikiran sama dengannya. Jelek kalau caranya hanya begitu-begitu saja. Merasa punya bakat, membuat menunya, meracik bumbunya, menyiapkan hidangannya, kemudian bermimpi untuk menjualnya melalui media sosial. Siap-siap gigit jari. Mungkin hanya satu dari seribu orang yang berhasil membesarkan bisnis tersebut. Kalau ngga mau dibilang asal kejual ya.
Apa ide yang melintas? Frozen food? Bikin kue kering? Masker yang cute? C’mon lah.. You can think more than that. Orang kerap disibukkan dengan idenya kemudian disibukkan dengan produknya. Ada hal penting yang sering diabaikan dalam sebuah proses yaitu “roh”-nya. Kalau terus-terusan sibuk dengan produk dan taktik jualan, kita akan dilumat habis oleh mereka yang sedang menjalankan skenario besarnya.
Hal yang sama terjadi pada pebisnis yang sudah sangat kuat secara offline tapi masih loyo secara online. “Berapa besar porsi penjualan online, bu?,” tanya saya pada seorang klien.
“Wah, malu sebut jumlahnya pak.”
“Lima persennya aja ga nyampe!”
“Padahal saya sudah punya toko di marketplace,
dengan ulasan produk ribuan jumlahnya,
punya jaringan reseller dimana-mana,
follower di medsos udah puluhan ribu,
tapi kok ga nolong ya..?”
Euleuh-euleuh si ibu kemana aja? Sejak kapan profil mentereng di medsos menjadi jaminan revenue stream? Pernah dengar tentang selebgram dengan inisial AR? Pengikutnya 2,6 juta tapi ngga sanggup menjual 36 kaos dengan mereknya sendiri? Memindahkan bisnis dari offline ke online ya tidak begitu saja. Itu sama saja dengan nyemplungin komodo ke laut terus disuruh berenang. Pengikut bejibun tidak otomatis menghasilkan “interest” dan “desire”.
Baik itu menjalani hidup maupun menjalankan bisnis, keduanya membutuhkan strategi bukan sekedar taktik. Dengan strategi, kita tahu gambar besarnya akan seperti apa, spiritnya, arahnya, visinya, misinya, positioningnya dan hal-hal yang menjadi jiwa dari seluruh kegiatannya.
Hidup dan bisnis yang kuat selalu memiliki fondasi yang kokoh. Kekuatan bukan pada apa yang kita jual atau lakukan karena semua orang mampu melakukannya apalagi bisnis yang entry barrier-nya rendah sekali. Kekuatannya terletak pada apa yang sudah kita tanamkan dalam hati dan kepala.
Dengan strategi, kita tidak lagi eker-ekeran masalah harga, entah kemurahan atau kemahalan. Tidak menaruh cemburu pada orang lain yang lebih sukses jualannya karena kita tahu kepada siapa kita menjual, berapa kita harus menjual, apa yang kita ingin jual.
Kenali dirimu, kenali kekuatanmu sekaligus lingkaran di luarmu. Sun Tzu pernah berujar kalau kita mengenali diri dan musuh kita, takkan risau kita akan hasil dari seratus pertempuran sekalipun.
Beruntungnya saya punya lini bisnis sekaligus profesi yang anti krisis. Makin banyak orang stres, makin banyak permintaannya. Tapi ya ngga cuma beruntung juga, onlen-onlen itu sudah dimulai jauh lebih lama sebelum covid ini hadir. Proses penjualan melalui internet sudah dilakukan sejak tahun 2008 karena biaya iklan di media massa mainstream minta ampun mahalnya dengan hasil yang minta ampun amit-amit tingkat konversinya.
Menjalankan seminar-seminar daring sudah digalakkan sejak 2018. Pelatihan daring sudah berjalan sejak tahun lalu dan menghasilkan pendapatan pasif. Bukan karena covid tapi karena sadar bahwa jika bisnis-bisnis tertentu sudah mengalami disrupsi karena tren onlen sejak beberapa tahun yang lalu.
Syarat untuk menjadi pengusaha memang jangan cengeng dan ngambekan. Meski tagihan tetap harus dibayar, makanan tetap harus masuk ke perut, yang penting kepala tetap dingin dan api di hati tetap menyala.
Pikirkan baik-baik. Kondisi ini masih akan lama. Seperti jatuh dari atap dan luka patah tulang. Peristiwa jatuhnya hanya sedetik, tapi masa penyembuhannya dan pemulihan patah tulangnya bisa berbulan-bulan. Pandeminya mungkin cuma sebentar, efek bawaannya bisa berlipat-lipat lamanya.
Jangan jadi katak yang direbus di atas api kecil. Tidak ada kata terlambat. Maknai, tunggangi momentumnya, rumuskan strateginya, rancang taktiknya, dan lakukan sesuatu. Ini masanya survival of the fittest. Do it now!
Sydney Panjiagung
Performance Coach
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.