Bagian ke-2: Namanya Edward Hunter. Ia seorang jurnalis yang pernah bekerja di CIA (dulu disebut OSS) selama perang dunia kedua. Istilah “Brainwash” diperkenalkan pertama kali olehnya pada tahun 1950 melalui sebuah tulisan di harian Miami Daily News. Kata “brainwash” diterjemahkan dari kata Xi Nao (ada hubungan dengan kata Sinau dalam bahasa Jawa?) yang berarti membersihkan otak. Setahun kemudian ia meluncurkan sebuah buku hasil investigasi proses cuci otak yang berjudul “Brain-washing in Red China”. Pada halaman sampulnya ia menambahkan sub-judul:
“Pengungkapan Pertama Kali Metode-metode Mengerikan yang Telah Menempatkan Sebuah Bangsa di bawah Kendali Hipnotik”
Provokatif? Ya.. tapi Itu belum seberapa. Berkali-kali ia menyebut istilah dan teknik hipnosis pada beberapa bagian isi bukunya. Mungkin itu pula awal mulanya mengapa hipnosis sering dikaitkan dengan proses cuci otak. Jujur saja, saya tidak tertarik berbicara tentang cuci otak dari sudut pandang hipnosis di sini. Selain karena penjelasannya akan panjang, lebih menarik membicarakan fenomena cuci otak yang terjadi dimana-mana di sekitar kita tanpa kita sadari.
Sebelas tahun yang lalu sempat marak berita menghilangnya sejumlah mahasiswa. Beberapa dikabarkan pulang dalam kondisi linglung atau berubah drastis perilakunya. Media berlomba-lomba memberitakan kejadian tersebut lengkap dengan modus operandinya. Saya beruntung mendapat cerita langsung dari seorang saksi yang pernah terlibat di dalamnya. Sebut saja namanya Susi. Dengan bantuan regresi revivifikasi, Susi mengungkap sangat detail dan gamblang apa yang telah terjadi padanya begini:
Waktu itu di luar hujan. Saya sedang mengerjakan tugas kuliah di perpustakaan saat seorang perempuan menarik kursi di depan saya.
“Kosong?,” tanya perempuan itu dengan senyum ramah.
“Ya, kosong mbak,” jawabku singkat.
Lalu ia duduk dan membaca sesuatu. Tak lama ada seorang perempuan lagi permisi duduk di sebelah kanan saya. Mereka lalu terlibat pembicaraan seru. Selintas terdengar mereka beberapa kali menyebutkan kata panti asuhan.
Saya sedang membereskan alat tulis di atas meja dan siap-siap berdiri ketika tiba-tiba perempuan di depan saya menyapa, “Mbak, saya sedang menggagas program minat baca di kalangan anak panti asuhan. Mbak tertarik untuk join?”
Saya tertegun sejenak sambil menatap perempuan itu. Usianya sebaya saya. Wajahnya seperti mahasiswi pada umumnya. Tidak ada ekspresi yang mengundang rasa curiga. Penampilannya pun biasa saja.
Saya menaruh kembali tas ransel saya di atas meja sambil melontarkan pertanyaan, “Gimana ceritanya mbak?”
Kamipun berdiskusi selama belasan menit. Sebelum beranjak kami bertiga sepakat untuk melanjutkan obrolan di tempat tinggalnya esok hari. Pertemuan itu menjadi awal mula semua peristiwa yang saya alami.
Yang mengejutkan, dari penuturan Susi ternyata modusnya serupa dengan proses penjualan yang dijalankan oleh jenis bisnis tertentu. Ada rangkaian upaya sistematis yang diawali dengan proses perekrutan oleh orang-orang dekat atau orang biasa. Susi lalu diarahkan untuk menghadiri pertemuan untuk mendengarkan kesaksian sekaligus dibakar semangatnya. Tak berhenti sampai di situ, orang-orang seperti Susi juga akan dibimbing secara intensif dan rutin agar tetap “on-track”. Sistem itu dijalankan oleh tim yang berperan sesuai tugasnya masing-masing. Ada yang menjadi perekrut, menjadi convincer, dan menjadi pimpinan yang ditokohkan. Sounds familiar? Yeahh.. Pantas saja ada oknum-oknum pelaku bisnis seperti itu yang sangat militan, terjang sana-sini tak peduli teman atau saudara.
Kembali pada cerita Susi, saya yakin bahwa semuanya “by design”. Ada tokoh intelektual yang secara alami, empiris, atau trial-error memahami cara membangun sebuah sistem yang saya yakin adalah peristiwa cuci otak massal. Robert Cialdini, seorang psikolog sosial terkemuka, pernah melakukan penelitian yang kemudian melahirkan enam prinsip persuasi untuk menanamkan pengaruh. Dari sudut pandang teori Cialdini, setidaknya ada dua prinsip yang diterapkan dalam sistem itu yaitu Prinsip “Authority” dan Prinsip “Social Proof”.
Yang lebih mengerikan, Susi menyebut bahwa peristiwa tersebut dibumbui oleh adanya upaya menanamkan sebuah gagasan ekstrem dengan motif balas dendam. Ide yang terus-terusan ditanamkan adalah bahwa Susi dan orang-orang sepertinya adalah korban yang diperlakukan semena-mena, ditindas, dan ditekan. Orang-orang seperti Susi karena ideologi, ras, etnis, atau apapun itu akan diberantas, ditaklukan atau diusir. What??Tujuannya agar di mata Susi, atas nama perlawanan terhadap penindasan, tindakan apapun menjadi dibenarkan.
Kita, manusia, secara alami mudah larut dalam drama pembalasan. Seorang ibu yang anaknya dibunuh perampok secara sadis dirasa pantas balas membunuh meski hati kecil kita tahu itu salah. Beberapa hari lalu ada kisah seorang ayah yang memotong penis pelaku pemerkosaan anak balitanya. Apa yang terbayang dalam benak kita atas upaya pembalasan tersebut? Pantas? Itulah sebabnya film-film Hollywood dipenuhi oleh kisah pembalasan yang heroik dannn laku keras. Because revenge is the purest emotion.
Sifat itulah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Jika kepada kita terus-terusan ditanamkan ide bahwa kita ini sedang ditindas dan hendak disingkirkan, sebuah upaya perlawanan adalah kepantasan, at all cost! Itu lah cuci otak yang sesungguhnya terjadi jelas di depan mata kita, bukan di ruang-ruang interogasi yang gelap. Sebuah tindakan ekstrem tidak lagi terlihat ekstrem dan cenderung ditolerir ketika ditempatkan dalam konteks perlawanan. Isu yang bisa ditunggangi bukan hanya agama, melainkan juga kemerdekaan, kebebasan, dll. Dari situlah bibit terorisme dan separatisme dapat tumbuh dengan subur.
Saya penonton setia serial War Inc. di kanal National Geographic. Serial itu dipenuhi kisah nyata para pelaku perang termasuk kisah di balik layar. Salah satu hal yang membuat gerakan NAZI begitu masif dan destruktif adalah karena ditanamkan ide bahwa mereka sedang bereaksi bukan beraksi, bahwa mereka sedang melawan upaya-upaya pihak tertentu untuk menghancurkan bangsa Jerman secara sistematis. Heinrich Himmler, Komandan SS dan tangan kanan Hitler, tak henti-hentinya menyerukan propaganda tersebut kepada tentara Jerman. Ia bahkan menyebarkan ide bahwa tentara jerman sedang melakukan pertahanan diri melawan tentara sekutu yang turut campur dalam upaya menghancurkan bangsa jerman.
Ada sesuatu yang menggelitik saya sampai sekarang. Jika sebagian besar tokoh NAZI telah dihukum atas kejahatan perang karena membunuhi begitu banyak warga sipil selama peperangan, bagaimana dengan peristiwa penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki? Diperkirakan 120 ribu orang tewas akibat bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat tersebut. Sebagian besar korbannya juga rakyat sipil tak bersenjata. Apakah membunuhi rakyat sipil dianggap sebagai kejahatan perang dalam konteks itu? Kelihatannya (dianggap) tidak. Semua tutup mulut dan diam karena itu dipandang sebagai sebuah tindakan pembalasan. Revenge (again) is the purest emotion. Dianggap pantas, betul?
Pasang mata, pasang telinga. Cuci otak terjadi dimana-mana. Sulitnya, mereka yang sedang dicuciotaknya kerap tidak menyadari bahwa sedang mengalaminya. Sulit membongkarnya, harus melibatkan teladan dari sosok otoritas yang mereka percaya. Baca lagi tulisan di bagian pertama tentang Cognitive Dissonance. Apapun yang sudah menjadi “belief” akan ditentang bahkan upaya menasihatipun dapat dianggap sebagai “insult”. Bottom line is.. Proxy war is a real threat. Itu ancaman nyata yang dapat hadir menunggangi isu-isu sensitif tanpa kita sadari.
Oleh:
Sydney Panjiagung
Covert Hypnosis Expert
Sydney Panjiagung
Covert Hypnosis Expert
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.